Hampir semua kita pertama kali mempelajari ilmu Ṣarf/Sharaf (الصرف) melalui buku tipis penuh berkah: Al-Amṡilah At-Taṣrīfiyyah yang ditulis oleh KH. Muhammad Ma’shum (w. 24 Ramadan 1351 H/8 Januari 1933). Menteri Agama KH. Saifuddin Zuhri pun memuji setinggi-tingginya saat memberi kata pengantar dalam cetakan modern kitab ini di tahun 1965. Penulis sendiri dahulu sewaktu awal-awal belajar bahasa Arab kala SMA, dihadiahi buku ini oleh Syaikhunā Muhammad Farhan, untuk dihafalkan. Hari ini, kurang lebih 15 tahun sejak momen itu, penulis baru sadar bahwa buku yang populer dengan nama “Tasripan” atau “Tasrifan Jombang” ini ternyata setidaknya menghadirkan dua aspek tajdid (pembaharuan) kepada dunia Sharaf.
Kita semua tahu bahwa KH. Ma’shum langsung membagi buku beliau menjadi dua bagian besar: “At-Taṣrīf Al-Iṣṭilāḥiyy” dan “At-Taṣrīf Al-Lughawiyy” tanpa mendefinisikan lebih dahulu kedua istilah tersebut. Di antara yang kemudian mendefinisikannya adalah Syaikhunā KH. Khairul Umam. Beliau mengatakan di buku Ilmu Sharaf untuk Pemula (hlm. 23): “Tashrif lughawi adalah perubahan kata yang didasarkan pada perubahan jumlah dan jenis pelakunya, sedangkan tashrif ishthilahy adalah perubahan kata yang didasarkan pada perbedaan bentuk katanya.” Kyai Moch. Thohir Al-Sunny dalam blog beliau juga mendefinisikan At-Taṣrīf Al-Iṣṭilāḥiyy sebagai:
تَغْيِيْرُ أَصْلٍ وَاحِدٍ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُتَنَوِّعَةٍ لِلْحُصُوْلِ عَلَى مَعَانٍ مُخْتَلِفَةٍ
dan mendefinisikan At-Taṣrīf Al-Lughawiyy sebagai:
تَغْيِيْرُ أَصْلٍ وَاحِدٍ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُتَنَوِّعَةٍ عِنْدَ اتِّصَالِهِ بِالضَّمَائِرِ
Penulis yakin untuk membedakan keduanya, semua orang Indonesia yang pernah belajar ilmu Sharaf pasti bisa membedakannya. Maka bukanlah maksud penulis di dalam artikel ini menjelaskan keduanya dari sisi konten. Akan tetapi yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa klasifikasi dengan kedua istilah tadi merupakan satu dari dua ijtihad dan terobosan baru yang dikreasikan oleh KH. M. Ma’shum.
Penulis sebut ia sebagai ijtihad beliau, sebab memang mulai dari buku ilmu Sharaf sangat tua, semisal Al-Munṣif karya Al-Imām Ibnu Jinniyy (w. 393 H) yang mensyarah kitab ilmu Sharaf terpisah pertama: At-Taṣrīf karya Al-Māziniyy (w. 247 H), hingga buku-buku modern, serta mulai dari kitab-kitab ilmu Sharaf yang jadi rujukan primer semacam Al-Mumti’ karya Al-Imām Ibnu ‘Uṣfūr (w. 669 H), Syarḥusy Syāfiyah karya Al-Imām Al-Istrābāżiyy (w. 686 H), dan Ham’ul Hawāmi’ karya Al-Ḥāfiẓ As-Suyūṭiyy (w. 911 H), hingga matan-matan kecil ilmu Sharaf semacam Matnul Binā’ wal-Asās, Aṣ-Ṣarfu aṣ-Ṣaghīr, dan Naẓmul Maqṣūd, tidak penulis jumpai klasifikasi dengan kedua istilah ini dalam klasifikasi dengan kedua istilah ini tidak penulis dapatkan. Tidak dengan istilah yang persis letterlijk sama, tidak pula dengan istilah berbeda, meskipun tercakup secara keumuman konsep.
Bahkan dalam kitab-kitab kuning ilmu Sharaf lainnya yang lazim diajarkan di pondok-pondok pesantren di Indonesia, semisal Fatḥul Khabīril Laṭīf dan Syarḥul Kailāniyy, klasifikasi dengan klasifikasi tersebut tidak dijumpai. Penulis tidak mengklaim telah mengecek semua buku ilmu Sharaf yang pernah ditulis. Apalagi yang masih berupa manuskrip pun banyak. Akan tetapi dari 30-an kitab ilmu Sharaf penting yang penulis rujuk, memang hasilnya tetap nihil.
Penulis juga sudah mengonfirmasi temuan ini kepada Syaikhunā Dr. Budiansyah bahwa memang tidak ada klasifikasi dengan kedua istilah tersebut dalam kitab-kitab ilmu Sharaf mana pun sebelum Al-Amṡilah At-Taṣrīfiyyah. Lebih lanjut lagi, penulis berasumsi bahwa itu juga alasan KH. Aceng Zakaria dalam kitab Al-Kāfī (hlm. 9-10) tidak menggunakan kedua istilah ini, namun malah menggunakan istilah lain -yang juga belum didahului ulama mana pun sepanjang pengetahuan penulis- : At-Taṣrīf al-Aṣliyy (sebagai padanan At-Taṣrīf Al-Iṣṭilāḥiyy) dan At-Taṣrīf Al-Far’iyy (sebagai padanan At-Taṣrīf Al-Lughawiyy).
Lagi-lagi, sama seperti KH. M. Ma’shum, KH. Aceng pun tidak mendefinisikan kedua istilah tadi. Bedanya lagi, KH. Ma’shum bertumpu kepada klasifikasi dengan kedua istilah tadi di keseluruhan kitab, sementara KH. Aceng menulis dengan sistematika sebagian buku-buku ilmu Sharaf umumnya, namun mengadopsi klasifikasi ini dengan memodifikasi istilahnya. Hal yang sama juga dilakukan KH. Khairul, bedanya beliau menulis dalam bahasa Indonesia dan tidak memodifikasi kedua istilah temuan KH. Ma’shum.
Sekalipun tidak ada presedennya secara persis, namun barangkali cikal-bakal inspirasi kedua terminologi tadi adalah sebagaimana berikut:
“At-Taṣrīf Al-Iṣṭilāḥiyy” disebut demikian karena memang ia cocok dengan definisi Taṣrīf secara iṣṭilāḥ (terminologi). Di mana ia merupakan proses mengubah aṣl (الأصل) -maṣdar ataupun fi’l māḍin- menjadi bentuk-bentuk lainnya, seperti fi’il mudhari’, fi’il amr, dst, dengan tujuan mendapatkan makna-makna yang berbeda. Tentu kita hafal perkataan Al-Imam Az-Zanjani al-‘Izziyy (w. 655 H) di awal matan At-Taṣrīf beliau:
اِعْلَمْ أَنَّ التَّصْرِيْفَ فِيْ اللُّغَةِ: التَّغْيِيْرُ، وَفِيْ الصِّنَاعَةِ: تَحْوِيْلُ الْأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُخْتَلِفَةٍ لِمَعَانٍ مَقْصُوْدَةٍ لَا تَحْصُلُ إِلَّا بِهَا
Al-Imām At-Taftāzāniyy (w. 792 H) katakan setelah menjelaskan definisi ini dalam syarah beliau terhadap matan ini (hlm. 72):
مَثَلًا: الضَّرْبُ هُوَ الْأَصْلُ الْوَاحِدُ. فَتَحْوِيْلُهُ إِلَى ضَرَبَ وَيَضْرِبُ وَغَيْرِهِمَا لِيَحْصُلَ الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدُ مِنَ الضَّرْبِ الْحَادِثِ فِيْ الزَّمَانِ الْمَاضِيْ أَوِ الْحَالِ أَوْ غَيْرِهِمَا هُوَ التَّصْرِيْفُ فِيْ الْاِصْطِلَاحِ.
Hal yang mirip juga disebutkan oleh Al-Imām Al-Kailāniyy (w. 1298 H) sebagaimana dalam syarah beliau atas matan Al-‘Izziyy (hlm. 5). Jangan lupa bahwa Syarah Al-Imām Al-Kailāniyy ini sangat populer di pesantren-pesantren seindonesia.
Kini kita paham asal-usul penamaan “At-Taṣrīf Al-Iṣṭilāḥiyy”, sebab ia memang termasuk dalam definisi Taṣrīf secara Iṣṭilāḥ. Lalu bagaimana dengan term “At-Taṣrīf Al-Lughawiyy”?
Yang paling mendekati -tapi tidak sama persis- dan penulis duga sebagai sumber inspirasi bagi KH. Ma’shum adalah uraian Syaikhul Azhar yang wafat sekitar 27 sebelum kelahiran KH. Ma’shum, yaitu Asy-Syaikh Al-Baijūriyy (w. 1276 H/1860). Beliau mengatakan dalam Fatḥul Khabīril Laṭīf (hlm. 7), sebuah kitab ilmu Sharaf yang memang cukup populer pula di pesantren-pesantren seindonesia sejak dulu:
وَلَكَ أَنْ تَقُوْلَ: اخْتَارَ التَّعْبِيْرَ بِالْأَصْلِ دُوْنَ الْمَصْدَرِ لِيَشْمَلَ التَّعْرِيْفُ تَحْوِيْلَ الْاِسْمِ إِلَى الْمُثَنَّى وَالْجَمْعِ وَالْمُصَغَّرِ وَالْمَنْسُوْبِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Di sini Asy-Syaikh Al-Baijūriyy menyebutkan kemungkinan lain bahwa para ulama menggunakan istilah Al-Aṣl, bukannya Maṣdar. Alasan pertama amat populer, yaitu demi mengakomodir pula Mazhab Kūfiyy yang menjadikan Fi’l Māḍin sebagai Al-Aṣl. Nah, alasan kedua -yang merupakan ‘ibarot kita ini- adalah agar mencakup juga perubahan dari Ism Mufrad ke Ism Muṡannan dan ke Ism Jam’, atau ke bentuk Taṣghīr, atau saat penisbahan. Dalam kasus taṣrīf lughawiyy pada fi’il, sebenarnya pun yang ditaṣrīf bukanlah fi’ilnya, namun ḍamīrnya. Tentu, kita tak lupa bahwa ḍamīr merupakan isim, sehingga masuk ke dalam apa yang diisyaratkan Asy-Syaikh Al-Baijūriyy barusan.
Apa yang diisyaratkan oleh Asy-Syaikh Al-Baijūriyy secara lebih jelas telah disebutkan oleh Al-Imām Ibnun Nāẓim (w. 686 H), putranya Ibnu Mālik (w. 672 H), dalam Syarah beliau (hlm. 582) atas Alfiyyah gubahan sang ayah:
,تَصْرِيْفُ الْكَلِمَةِ: هُوَ تَغْيِيْرُ بُنْيَتِهَا بِحَسَبِ مَا يَعْرِضُ لَهَا مِنَ الْمَعْنَى
- كَتَغْيِيْرِ الْمُفْرَدِ إِلَى التَّثْنِيَةِ وَالْجَمْعِ
- وَتَغَيُّرِ الْمَصْدَرِ إِلَى بِنَاءِ اسْمِ الْفِعْلِ وَاسْمِ الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ
Hal itu pertama kali disadari oleh Al-Imām Al-Asymūniyy (w. 900 H) ketika berkata dalam syarah beliau atas Alfiyyah Ibni Mālik (III/779):
وَقَدْ أَشَارَ الشَّارِحُ إِلَى الْأَمْرَيْنِ
Terjemah: “Asy-Syāriḥ (dalam Syarḥul Asymūniyy ‘alal Alfiyyah yang dimaksud Asy-Syāriḥ adalah Al-Imām Ibnun Nāẓim) telah mengisyaratkan dua hal yang masuk dalam Taṣrīf secara iṣṭilāḥ.”
Inilah yang kemudian diistilahkan oleh KH. Ma’shum sebagai “At-Taṣrīf Al-Lughawiyy”. Jadi sebetulnya apa yang disebut At-Taṣrīf Al-Lughawiyy oleh KH. Ma’shum sebenarnya juga bagian dari definisi Taṣrīf (Ma’nawiyy) secara Iṣṭilāḥ dalam kitab-kitab ilmu Sharaf sebelumnya. Sebagaimana tadi penulis singgung, bahwa toh pada akhirnya, taṣrīf jenis ini tetap mengandung “pengubahan”, sehingga tetap cocok dengan definisinya secara lughah (etimologi), yaitu “pengubahan”.
Maka jika kita ingin sisipkan klasifikasi baru dari beliau ini ke khazanah ilmu Sharaf sejak kitab-kitab awalnya (silakan merujuk ke kitab-kitab yang judulnya penulis di atas), maka menjadi begini:
Taṣrīf:
1. Lughatan (pengubahan, apapun bentuknya)
2. Ṣinā’atan (yaitu sebagai nama ilmu)
3. Iṣṭilāḥan (yaitu sebagai istilah proses pengubahan yang digunakan para ulama Sharaf):
3a. Lafẓiyy (yaitu yang juga dikenal dengan Masāilut Tamrīn)
3b. Ma’nawiyy (yaitu mencakup dua hal yang disebut KH. Ma’shum dengan “At-Taṣrīf Al-Iṣṭilāḥiyy” dan At-Taṣrīf Al-Lughawiyy”)
Inilah tajdid pertama beliau. Tajdid kedua adalah pada ciri khas lainnya yang pasti kita semua tahu. Yakni penyusunan “At-Taṣrīf Al-Iṣṭilāḥiyy” dalam tabel itu horizontal (dari kanan ke kiri), sementara “At-Taṣrīf Al-Lughawiyy” itu vertikal (dari atas ke bawah). Ini pun, sepengetahuan penulis, yang pertama kali membuat kitab ilmu Sharaf dengan pola pemaparan seperti ini adalah KH. Ma’shum. Bolehlah kita menyebut ini sebagai tajdid lainnya dari KH. Ma’shum. Malah boleh jadi masih ada lagi aspek lainnya yang beliau hadirkan di buku berkah ini.
Dari kemasyhuran kitab Al-Amṡilah At-Taṣrīfiyyah di ribuan pesantren dan lembaga pendidikan di Indonesia, serta diadopsinya klasifikasi ini oleh penulis-penulis lain setelah KH. Ma’shum, dengan modifikasi istilah atau tidak, kita bisa melihat betapa usaha pembaharuan beliau diterima oleh para ulama lain sepeninggal beliau.
Tidak dijumpainya ’ibarot khusus seputar ini dalam kitab-kitab ilmu Sharaf sebelumnya -jika memang ternyata tidak dijumpai- sama sekali bukanlah aib atau kritik bagi pembaharuan beliau. Sebab ini tentang ilmu Sharaf, ilmu kebahasaan. Ini pun bukan terkait konten bahasa Arab itu sendiri, namun dari sisi metode penulisan, klasifikasi, dan sistematika pemaparan. Entah pembaca sekalian sebut ini sebagai bid’ah ḥasanah, atau maṣlaḥah mursalah, atau inovasi istimewa dalam urusan duniawi bernilai ibadah ghairu maḥḍah. Namun pastinya ia bukanlah hal yang terlarang dalam Islam, bahkan sangat diharapkan. Bukankah pemisahan ilmu Sharaf dari rahim ilmu Nahwu pun adalah bagian dari proses tersebut?
Terlebih, tidak kita pungkiri bahwa klasifikasi tadi beserta tabel yang beliau kreasikan jelas amat membantu pembelajaran ilmu Sharaf. Boleh jadi itulah salah satu sebab terkenalnya kedalaman penguasaan Sharaf di kalangan santri/mahasiswa Indonesia, yang bahkan tak jarang mengungguli para santri/mahasiswa negara lain. Walhamdulillah.
Dari sinilah semestinya kita pun tergerak untuk meniti jejak beliau. Sekalipun ilmu Sharaf sudah matang, namun sebagaimana dikatakan oleh Al-Imām Az-Zarkasyiyy (w. 794 H) dalam Al-Manṡūr (I/72), bahwasanya ilmu Nahwu (termasuk ilmu Sharaf) itu: “naḍija wamaḥtaraq” (sudah matang namun belum gosong), sehingga khidmah terhadap ilmu ini memang masih kurang padahal selalu bisa terus dikembangkan. Secara inti substansi ia sudah matang, namun dari sisi metode penulisan, klasifikasi, sistematika pemaparan, dan media pembelajaran, tentu ilmu Sharaf masa depannya amat cerah. Pembaharuan dengan spirit “al-muḥāfaẓatu ‘alal qadīmiṣ ṣāliḥ wal-akhżu bil jadīdil aṣlaḥ” agar keilmuan kita semakin berkemajuan di tengah derasnya modernisasi amatlah dituntut. Lebih dari itu, kita juga belajar keikhlasan dari beliau, sebab kalau bukan karena keikhlasan niat beliau, mustahil kitab Al-Amṡilah At-Taṣrīfiyyah bisa setenar dan seberkah ini. Apalagi kalau kita ingat-ingat bahwa KH. M. Ma’shum menulis buku penuh berkah tersebut saat beliau masih berusia 19 tahun! Semoga Allah merahmati beliau.
Jeddah, 14 Februari 2022
Nur Fajri Romadhon
Masyaallah. Berkah
amin