
Pembahasan Kitab Takhrij al-Furu’ 'alal Ushul Karya: Imam Syihabuddin Az-Zanjani (656 H), Mazhab Syafi'i.
Tema: Bagaimana mengeluarkan permasalahan-permasalahan cabang-cabang fikih dari sebuah kaidah ushul fikih.
1. Penegasian yang Bersifat Umum
Kaidah Ushul Fiqh:
النفي المضاف إلى جنس الفعل يجب العمل بمقتضاه
"Negasi kepada suatu kumpulan perbuatan sejenis harus diamalkan konsekuensinya."
Contoh Hadis:
من لم يبيّت الصيام من اليل فلا صيام له
"Barangsiapa tidak meniatkan puasanya dari malam, maka tidak sah puasa baginya"¹
Analisis Hadis:
Penegasian pada kalimat لا صيام ("tidak ada puasa"), yaitu لا nafiyah lil jinsi yang masuk ke ism nakirah, artinya menegasikan semua jenis puasa. Maka wajib diamalkan dan tidak dianggap mujmal.
Implikasi Hukum:
Dalam mazhab Syafi'iyy, semua puasa niatnya harus sejak malam, kecuali ada dalil yang memalingkan dari hal ini. Misal, kemudian ada Hadis dari 'Aisyah رضي الله عنها:
دَخَلَ عَلَيَّ النبيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ذَاتَ يَومٍ فَقالَ: هلْ عِنْدَكُمْ شيءٌ؟ فَقُلْنَا: لَا، قالَ: فإنِّي إذَنْ صَائِمٌ
"Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami dan bertanya: ‘Apakah kalian punya makanan?' Kami menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian beliau bersabda: “Kalau begitu, saya akan puasa.”²Nabi ﷺ baru berniat puasa sunnah saat itu. Maka hadis ini takhshish (mengkhususkan) keumuman hadis yang mewajibkan niat puasa harus dari malam hari.
Mazhab Hanafiyy mempunyai pandangan berbeda: hadis di atas masih bermakna mujmal, maka tidak diamalkan. Jadi, boleh niat puasa tidak dari malam.
2. Diamnya Nabi ﷺ dari Menjelaskan
Kaidah Ushul Fiqh:
ترك الاستفصال في محل الاحتمال ينزل منزلة العموم في المقال
"Tidak merinci pada kondisi yang mengandung beberapa kemungkinan dinilai sebagai keumuman dalam pembicaraan."
Contoh Hadis:
Hadis tentang seorang laki-laki yang berhubungan badan dengan istrinya di siang hari bulan Ramadan:³
إذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يا رَسولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ: ما لَكَ؟ قَالَ: وقَعْتُ علَى امْرَأَتي وأَنَا صَائِمٌ،...
Analisis Hadis:
Pada hadis tersebut, tidak disinggung tentang kewajiban si istri. Nabi ﷺ juga tidak bertanya tentang si istri apakah melakukannya secara suka rela atau terpaksa.
Implikasi Hukum: Maka dalam mazhab Syafi'iyy tidak ada kaffarat bagi istri.
Kaidah ini semisal dengan:
السكوت عن البيان إعراض عنه وانتفاء للوجوب
"Diamnya (Nabi) dari menjelaskan adalah penjelasan..."
Sederhananya:
تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز
"Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan" Karena Nabi ﷺ tidak menjelaskan, padahal dibutuhkan, maka dalam hal ini wanita (istri) tidak wajib membayar kaffarat.
3. Qiyas dalam Kaffarat
Kaidah Ushul Fiqh:
لا قياس في الكفّارات
"Tidak ada qiyas dalam kaffarat."
Perbedaan pendapat: Mazhab Malikiyy: Membolehkan qiyas dalam kaffarat.
Konsekuensi: Semua perbuatan yang sengaja membatalkan puasa wajib membayar kaffarat.
'Ilah (sebab hukum): sengaja membatalkan. Mazhab Hanafiyy: Tidak membolehkan qiyas dalam kaffarat.
Konsekuensi: Kaffarat hanya diwajibkan pada jimak.
Footnote:
¹: HR. An-Nasai (2334), Abu Dawud (2454), At-Tirmidzi (730)
²: HR. Muslim (1154)
³: HR. Bukhari (1936), Muslim (1111)
Penulis: Ummu Maryam
Dirangkum dari kajian: